ketidakpedulian pemerintah terhadap kegiatan riset antara lain dibuktikan dengan rendahnya gaji profesor riset. Bahkan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset yang berada dalam pangkat tertinggi golongan IV/E masih lebih rendah daripada gaji guru sekolah dasar di Jakarta dan sekitarnya.
Gaji pokok seorang profesor riset golongan IV/E di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, saat ini Rp 3,6 juta per bulan. Gaji ini ditambah tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan. ”Jadi, total gaji yang saya terima Rp 5,2 juta per bulan,” kata Prof Dr Ir Jan Sopaheluwakan, MSc, pakar ilmu kebumian yang sudah bekerja sekitar 30 tahun di LIPI.
Pendapatan seorang profesor riset yang menduduki jabatan struktural sedikit lebih tinggi karena mendapatkan tunjangan jabatan Rp 3,2 juta per bulan.
”Gaji pokoknya sama, Rp 3,6 juta per bulan, dan tidak bisa naik lagi karena sudah berada dalam golongan pangkat tertinggi IV/E,” kata Prof Dr Ir Bambang Subiyanto, MAgr, pakar biomateria yang juga Kepala Pusat Inovasi LIPI, di Jakarta, Senin (24/10/2011).
Menurut peraih gelar PhD di Universitas Vrije Amsterdam Belanda ini, gaji profesor riset di LIPI sangat jomplang jika dibanding dengan profesor di perguruan tinggi negeri. Sebab, gaji profesor di PTN bisa mencapai Rp 14 juta.
“Sepertinya sistemnya itu sengaja gaji dibuat kecil, supanya sisanya cari sendiri,” keluh Jan.
Dia menambahkan, di Belanda, seorang profesor riset bisa digaji 8.000-9.00 Euro . Sedangkan di Jepang 60.000 hingga 70.000 Yen. Di Australia dalam setahun bisa mendapat 130.000-140.000 dollar Australia.
“Di Pakistan, gaji penelitinya malah 3 kali gaji menteri. Kalau di Korea, peneliti itu dianggap pahlawan. Para peneliti tidak mengikuti wajib militer. Kegiatan militer dianggap sebagai kegiatan bela negara, dan peneliti dianggap sama dengan pembela negara,” papar Jan.
Menristek Bilang “Terima Sajalah”
Menteri Riset dan Teknologi meminta gaji peneliti yang dikabarkan lebih rendah dari gaji guru sekolah dasar tidak terlalu dipermasalahkan. Dia mengharapkan kesejahteraan peneliti akan meningkat seperti guru yang juga meningkat seiring waktu.
“Terima sajalah,” kata Menristek Gusti Muhammad Hatta seusai membuka International Seminar on Current Research Progress in Science and Technology di Hotel Novotel, Selasa (25/10/2011).
Sambil berseloroh, Hatta malah berkata bahwa gaji menteri lebih rendah dibandingkan peneliti sambil menambahkan dia pernah menerima gaji Rp 12.000 pada tahun 1980-an. Namun, dia segera menjelaskan secara serius bahwa kesejahteraan peneliti akan diupayakan pemerintah meski bakal secara perlahan.
Pihaknya mengusulkan alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti dengan kerja sama penelitian yang nilainya besar sehingga kesejahteraan ikut terdongkrak. Dia pun mencontohkan guru yang semula tingkat kesejahteraannya miris kemudian membaik seiring waktu.
Ilmuwan Indonesia Diincar
Perburuan terhadap ilmuwan-ilmuwan muda tersebut sangat agresif. Selain datang ke kampus-kampus di luar negeri dan berburu mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program doktoral, mereka juga datang ke sejumlah lembaga riset di Tanah Air. Mereka mengetahui, perhatian Pemerintah Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti sangat minim. Selain gaji kecil dan fasilitas penelitian sangat terbatas, peneliti juga sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan yang sudah dilakukan. Mengetahui kelemahan ini, negara lain menawarkan fasilitas yang tidak diberikan oleh Pemerintah Indonesia. ”Perguruan tinggi di Malaysia sempat menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS (sekitar Rp 45 juta) per bulan,” kata Lukijanto, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di Jakarta, Sabtu (22/10). Tawaran itu disampaikan saat Lukijanto akan ujian akhir doktoral di bidang pesisir dan kelautan di Kyushu University, Jepang, tahun 2009. Sejumlah mahasiswa doktoral lainnya mengungkapkan hal yang sama, ditawari menjadi dosen atau peneliti di negara lain dengan fasilitas sangat memadai.
Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara mengatakan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset LIPI saat ini sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp 600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri.
Namun, selain gaji, yang sangat didambakan seorang peneliti adalah fasilitas riset yang memadai. ”Fasilitas ini yang sangat kurang di Indonesia,” kata Endang Sukara. Tak heran jika kemudian, pada tahun 1990-1992, ada 177 peneliti LIPI yang pindah ke swasta, instansi lain, dan keluar negeri.
Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang dia dapatkan. ”Selama 2001-2010, paten milik 237 juta penduduk Indonesia hanya 115,” kata Nani Grace Berliana dari Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI.
Perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas dan berprestasi, termasuk ilmuwan dan peneliti, hingga saat ini masih minim. Sejumlah lomba penelitian digelar, tetapi tak jelas kelanjutannya. Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan sejak 1969, atau 42 tahun lalu, misalnya, hingga saat ini para juaranya tak terlacak keberadaannya. Begitu pula para juara Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang memasuki tahun ke-10 dan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI), yang terakhir dilaksanakan 2009, tidak dipantau perkembangan prestasi para penelitinya. Belum lagi para juara olimpiade internasional. Memang sejak tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar para juara olimpiade internasional difasilitasi untuk dapat kuliah hingga jenjang doktor. ”Kenyataannya, untuk mendapat beasiswa itu butuh waktu lama dan berbelit-belit sehingga banyak yang mencari beasiswa dari luar negeri,” kata Penasihat Tim Olimpiade Fisika Indonesia Yohanes Surya.
Bukan cuma perhatian yang kurang. Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk kegiatan penelitian juga sangat kecil. Selama 1999-2007, anggaran penelitian hanya sekitar 0,3 persen dari APBN. Kecilnya anggaran ini menyebabkan dana penelitian harus dibagi-bagi untuk 62.995 orang yang bergerak di bidang penelitian, yakni peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Anggaran yang tidak sebanding menyebabkan penelitian tidak bisa berlanjut. Penelitian harus ditunda beberapa tahun menunggu kucuran dana selanjutnya.
”Berbagai kendala ini, ditambah suasana lembaga penelitian yang tidak kondusif, menyebabkan peneliti-peneliti menerima tawaran dari luar negeri,” kata Fahmi Amhar, profesor Riset Geomatika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan, negara sebenarnya bisa memanfaatkan orang-orang berprestasi tersebut asalkan diberikan kesempatan. Namun, sayangnya, kesempatan itu sangat kecil sehingga mereka memilih mengembangkan kemampuan di luar negeri.
Meski demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa orang-orang berprestasi tersebut kembali ke Indonesia.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso juga tidak keberatan jika siswa-siswa berprestasi di Indonesia memilih bekerja di luar negeri. ”Namun, penerima beasiswa memang seharusnya pulang karena pendidikannya sudah dibiayai oleh pemerintah,” kata Djoko.
Namun, Djoko tidak sependapat jika keterbatasan sarana menjadi alasan kepindahan ke luar negeri. ”Keterbatasan sarana mestinya menjadi tantangan untuk tetap bekerja,” ujarnya.
Menurut data Kementerian Riset dan Teknologi, terdapat 20.000 peneliti yang ada di bawah kementerian dan 60.000 peneliti di bawah perguruan tinggi. (kompas/detik/mugiwara no nakama)
- See more at: http://lppm.narotama.ac.id/2013/05/14/inilah-nasib-ilmuwan-dan-peneliti-di-indonesia/#sthash.kNM8SXTx.dpuf